Keterwakilan perempuan masih menggunakan kata memperhatikan daripada mewajibkan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta, Ahsanul Minan mengatakan, regulasi yang mengatur afirmasi keterwakilan perempuan cenderung ambigu dan masih malu-malu. Pengaturan keterwakilan perempuan di bidang politik masih menggunakan kata memperhatikan daripada mewajibkan.
Baca Juga Contohnya, pengaturan keterwakilan perempuan untuk posisi anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum dari tingkat pusat hingga daerah, termasuk penyelenggara pemilu ad hoc. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan, komposisi keanggotaan KPU maupun Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.