BERTAHUN-tahun lamanya, perajin keripik tempe selalu mampu bertahan meski harga kedelai dan bahan baku melonjak. Bahkan, dampak pandemi covid-19 sekalipun tak membuat mereka menyerah.
Namun, kali ini, mereka bertumbangan. Mahalnya harga minyak goreng memaksa usaha mereka diambang gulung tikar. Sejak harga minyak goreng melonjak kian tak terbendung, yang mencapai Rp25 ribu per liter, perajin tempe mencari cara untuk bertahan sampai akhirnya berhenti produksi.
Empat pekerja pun dirumahkan. Reni, Defit, Nita dan Udin terpaksa menganggur. Pekerja yang biasanya bertugas mengiris tempe, menggoreng dan mengemas keripik di usaha keripik tempe Kiky itu harus menerima kenyataan kehilangan pendapatan Rp50 ribu per hari. "Dampak covid-19 menurunkan produksi dari 300 bungkus keripik menjadi 250 bungkus per hari. Sekarang, usaha tutup karena mahalnya harga minyak goreng," imbuhnya.
"Saya hanya melayani pesanan, itu pun bila harganya bersedia dinaikkan. Satu bal keripik 3 kg yang semula Rp120.000, sekarang Rp135.000 atau naik Rp5.000 per kg," kata anggota paguyuban tempe dan keripik tempe tersebut. Produksi terbatas dilakukan dengan harga keripik dinaikkan semula Rp8.500 per kg menjadi Rp9.000 per kg. "Minyak goreng curah subsidi dihargai Rp14.000 per liter itu kenyataannya barang tidak ada di pasar," ungkap Sentot.
"Sementara ini kita masih mendapatkan 24.000 liter dan hari ini 8.000 liter," tegas Wali Kota Malang Sutiaji saat OP, Jumat .